Elshinta.com - Seringkali ranah publik mendebatkan hasil riset/kajian yang dilakukan dunia internasional yang menyatakan bahwa masyarakat Indonesia rendah dalam kegemaran membaca. Namun, di sisi lain kehadiran pustaka bergerak di berbagai wilayah di Tanah Air malah mengindikasikan hal sebaliknya.
“Hasil riset internasional bisa kita terima karena mereka punya analisanya masing-masing. Tetapi dari mana indikator yang menunjukkan Indonesia rendah budaya baca. Bahkan, kita memiliki tidak kurang dari 100 aksara. Salah satu yang terbanyak di dunia. Sejatinya persoalan yang terjadi adalah ketimpangan rasio buku dengan jumlah penduduk yang masih jauh dari ideal,” terang Kepala Perpustakaan Nasional RI Muhammad Syarif Bando setelah penandatanganan MoU dan Talkshow Safari Literasi bersama Duta Baca Indonesia, Selasa (18/1).
Lebih lanjut Kepala Perpusnas mengatakan keprihatinan rasio bulu bisa ditangani asal semua pihak mengambil peran, terutama di sisi hulu.
Keberadaan Duta Baca Indonesia diharapkan Syarif Bando mampu mengikis persoalan kegemaran baca di masyarakat dan mendorong peran aktif pemerintah daerah dalam mengatasi ketimpangan rasio buku.
Pendidikan formal baru mengakomodir kurang lebih 65 juta penduduk. Masih ada sekitar 200 juta masyarakat Indonesia yang belum terfasilitasi pendidikan formal. Di sinilah peran perpustakaan dibantu duta baca menjembatani hal tersebut.
“Banyak masyarakat akar rumput dan marjinal yang belum tercerdaskan. Perlu peran duta baca untuk turun langsung mengedukasi. Saya rasa tidak harus menjadi guru besar tetapi bisa lewat peran masing-masing,” tambah Syarif Bando dalam rilis tertulis yang diterima redaksi elshinta.com, Selasa (18/1).
Sejalan dengan yang disampaikan Kepala Perpusnas, Duta Baca Indonesia 2021-2025 Heri Hendrayana Harris atau yang akrab disapa Gol A Gong mengatakan Indonesia telah memiliki Undang-undang Perbukuan, namun belum banyak menindaklanjuti dengan membuat peraturan daerah (Perda). Ia pun akan berusaha mendorong para akademisi menyusun naskah akademiknya untuk diajukan ke legislatif agar bisa dijadikan perda perbukuan.
“Di Wanayasa bahkan ada peraturan desa (Perdes) mewajibkan rumah makan, café, hotel, untuk memiliki pojok baca,” ungkap Gol A Gong.
Di 2022, program kerja Safari Literasi Gol A Gong akan berfokus pada pemahaman dan penggunaan literasi digital, misalnya kepada generasi Z. Bagaimana cara berinteraksi secara digital, cara mengisi konten di berbagai platform digital.
“Saring before sharing. Kita akan mengajak masyarakat untuk kampanye cerdas dan cakap bermain digital,” ucap Gol A Gong. Bahkan, bagi pustakawan pun, DBI menyarankan untuk menggunakan medium digital untuk mengirimkan tulisan, artikel, atau cerita, misalnya. Tidak harus berkirim melalui surat kabar lagi.
Program kerja Duta Baca Indonesia pun mendapat dukungan penuh dari anggota Komisi X DPR-RI Rano Karno. Safari Literasi dianggap terobosan untuk menjadikan kesadaran membaca di masyarakat. Rendah literasi, menurut Rano diakibatkan dari rendahnya minat baca, kesulitan mengakses buku, dan gempuran teknologi.
“Kemajuan teknologi membawa banyak perubahan termasuk dalam gaya membaca. Di jaman dulu, orang senang membaca dengan membuka buku halaman per halaman. Sesuatu yang khas dilakukan. Sedangkan, membaca menggunakan aplikasi seolah ada imajinasi yang terputus,” beber Rano.
Sementara itu, nara sumber lain Bunda Literasi Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Niken Saptarini Zulkieflimansyah mengatakan kampanye minat baca di wilayahnya berfokus pada pemulihan literasi di sisi hilir. Satuan keluarga dan pendidikan dipilih sebagai sasaran utama membangun keterikatan dengan buku.
Sedangkan, Bunda Baca Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Julie Sutrisno Laiskodat menambahkan di NTT kaya sumber daya alam namun miskin SDM karena minim jarigan bagus untuk mengikuti kemajuan. “Saat ini kami fokus pada perbaikan SDM. Infrastruktur penting tapi SDM yang terus berkembang juga tidak kalah penting,” pungkas Julie.