Elshinta.com - Penyandang disabilitas perlu mendapatkan akses vaksinasi Covid-19. Hal ini mengingat penyandang disabilitas merupakan bagian dari kelompok rentan yang berpotensi memiliki kormobid. Untuk mendukung hal ini, Program Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP) bekerja sama dengan Unit Layanan Inklusi Disabilitas (LIDi), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPDB) Jawa Tengah berupaya meningkatkan aksesibilitas infromasi bagi penyandang disbilitas dan kelompok lanjut usia. Team Leader AIHSP John Leigh menyatakan bahwa peningkatan ketercapaian vaksin bagi kelompok rentan penting dilakukan.
"Salah satu tujuan program AIHSP adalah untuk membantu Pemerintah Indonesia untuk terus meningkatkan ketercapaian penerima vaksin, termasuk bagi kelompok-kelompok rentan. Karena itu, senang sekali kami dapat bersama sama dengan Pemerintah Jawa Tengah berupaya meningkatkan aksesibilitas infromasi bagi teman-teman penyandang disbilitas dan lanjut usia. Kami harap kemitraan ini memberi nilai
tambah bagi penanganan pandemi COVID-19 di Jawa Tengah, terutama bagi kelompok rentan,” tutur John Leigh, Team Leader AIHSP seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, Yanuar, Kamis (16/12).
Lebih lanjut John Leigh mengapresiasi pemerintah Indonesia atas tingginya ketercapaian jumlah penerima vaksin di Indonesia. Perlu diketahui Indonesia menempati urutan kelima negara dengan jumlah terbanyak vaksinasi COVID-19 dosis lengkap yaitu sebanyak 100,8 juta penduduk.
Ketua Unit Layanan Inklusi Disabilitas (LIDi) BPBD Provinsi Jawa Tengah Edy Supriyanto menyambut baik mulai munculnya kesadaran terhadap terpenuhinya pemeliharaan kesehatan terhadap disabilitas.
"Bertepatan dengan Hari Disabilitas Nasional pada bulan ini, kami menyambut baik kesadaran terhadap terpenuhinya pemeliharaan kesehatan terhadap penyandang disabilitas yang semakin meningkat. Kita memerlukan lebih banyak materi informasi yang dapat diakses oleh teman-teman dengan hambatan penglihatan atau teman-teman tuli," Kata Edy saat dalam Semiloka bertajuk Komunikasi Risiko dan Komunikasi Publik Pandemi dan Vaksinasi Covid 19 bagi Kelompok Disabilitas di Jawa Tengah di Semarang, Kamis (16/12).
Selain itu, Edy juga menyampaikan jika pihaknya memerlukan informasi terkait dengan kebutuhan keseharian penyandang disabilitas selama pandemi Covid-19.
"Kita juga memperlukan lebih banyak informasi terkait dengan substansi yang sesuai dengan kebutuhan keseharian dan komorbiditas penyandang disabilitas, sehingga informasi terkait dengan protokol kesehatan dan vaksinasi COVID-19 bisa dipahami.” imbuh Edy
Sementara itu pada kesempatan yang sama Ari Ananta pakar dari Arbeiter-Samariter-Bund (ASB) Indonesia menuturkan komunikasi yang sukses dengan penyandang disabilitas adalah menciptakan rasa nyaman saat berinteraksi.
"Prinsip-prinsip umum untuk berinteraksi dengan kelompok non-difabel antara lain tetap tenang dan menjadi diri sendiri, bersabar dan memberikan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan tertentu, serta menunjukkan penghargaan dengan memberikan bantuan di
saat yang tepat,” ucap Ari Ananta, perwakilan dari ASB Indonesia.
Sedangkan terkait vaksinasi COVID-19 untuk kelompok disabilitas, dr. Retty Kharisma Sari, SpPD, PhD perwakilan dari Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) menekankan bahwa terdapat 15% prevalensi kelompok ini di seluruh dunia.
“Kelompok disabilitas perlu divaksin karena beberapa faktor antara lain memiliki tingkat kormobiditas yang tinggi, akses layanan kesehatan yang terbatas dan sistem imun yang lemah. Selain itu, informasi terhadap kesehatan publik juga masih terbatas, padahal risiko terkena COVID-19 dan risiko kematian lebih tinggi. Untuk itu, vaksinasi bagi kelompok disabilitas perlu diprioritaskan untuk mencegah keparahan dan kematian,” tutup dr. Retty.
Diskusi dalam semiloka ini mengupas ragam materi komunikasi yang lebih aksesibel untuk berbagai ragam disabilitas, termasuk orang dengan disabilitas sensori (penglihatan, pendengaran) maupun orang yang kurang mobilitasnya (menggunakan kursi roda, kruk, atau tongkat). Misalnya, menyajikan informasi di poster dengan ukuran huruf yang lebih besar dan pilihan kertas yang tidak menyilaukan mata, komunikasi tatap muka yang memposisikan diri sejajar dengan tingkat mata (eye level), komunikasi verbal yang menggunakan kalimat pendek dan sederhana.