Elshinta.com - Letnan Jenderal TNI H. Soedharmono, S.H. lahir di Cerme, Gresik, Jawa Timur, 12 Maret 1927. Ia meninggal di Jakarta, 25 Januari 2006 pada umur 78 tahun.
Soedharmono adalah wakil presiden Indonesia ke lima yang menjabat selama periode 1988–1993.
Sejak kecil ia sudah menjadi yatim piatu. Ibunya Soekarsi meninggal waktu melahirkan adiknya yang bungsu pada tahun 1930. Ayahnya R. Wiroredjo meninggal 6 bulan kemudian karena sakit.
Sudharmono lalu tinggal bersama pamannya, seorang juru tulis yang bekerja di Kabupaten Jombang. Sudharmono banyak berpindah-pindah. Ia terpaksa tinggal bersama saudara orang tuanya yang lain, baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah.
Pada waktu kemerdekaan Indonesia, Soedharmono baru saja menyelesaikan sekolah menengah pertama. Ia memutuskan tidak melanjutkan sekolah, malah membantu mengumpulkan senjata dari tentara Jepang saat persiapan pembentukan Tentara Nasional Indonesia.
Selama Perang Kemerdekaan Indonesia Sudharmono sudah menjadi Panglima Divisi Ronggolawe.
Setelah Belanda mundur pada tahun 1949, Soedharmono menyelesaikan pendidikannya. Pada tahun 1952 ia pergi ke Jakarta dan bergabung dengan Akademi Hukum Militer.
Tahun 1956 Sudharmono bertugas di Medan, Sumatera Utara sebagai Jaksa Militer pada 1957-1961. Pada tahun 1962, ia memperoleh gelar dalam bidang hukum setelah menyelesaikan studi di Universitas Hukum Militer.
Soedharmono diangkat Ketua Personel Pesanan Satuan Kerja Pemerintah Pusat dan memberikan bantuan administrasi kepada pemerintah.
Selama Konfrontasi Indonesia-Malaysia, Presiden Soekarno membentuk Komando Operasi Tertinggi (KOTI), yang merupakan perintah perang segera di bawah kendali Soekarno. Pada tahun 1963, Sudharmono bergabung KOTI dan diberi peran Anggota Pusat Operasi Bersama untuk Operasi Agung
Di zaman Orba, karier Soedharmono makin menanjak. Pada Oktober 1965, Soeharto diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat dan bergabung dengan KOTI sebagai Kepala Staf. Soeharto menjalin hubungan dengan Sudharmono pada saat masa-masa tegang dalam sejarah Indonesia.
Sudharmono mendapatkan kepercayaan dari Soeharto. Waktu Soeharto menerima Supersemar dari Soekarno, pada 11 Maret 1966, Sudharmono yang menyalin surat yang akan sebarkan kepada Perwira Militer lainnya.
Esok harinya, pada tanggal 12 Maret, Sudharmono juga ikut menulis dekret pelarangan PKI.
Ketika Soeharto menjadi presiden pada tahun 1968, Sudharmono menjadi Sekretaris Kabinet serta Ketua Dewan Stabilitas Ekonomi.
Pada tahun 1970, Sudharmono dipindahkan posisinya menjadi Sekretaris Negara, posisi yang memungkinkan ia untuk membantu Soeharto. Selain menjadi Mensesneg, Sudharmono juga menggantikan menteri lain saat mereka berhalangan, di antaranya menjadi Menteri Penerangan dan Menteri Dalam Negeri. Sudharmono juga membantu membuat pidato pertanggungjawaban Soeharto sebelum Sidang Umum MPR.
Pada tahun 1980, Sudharmono telah membuktikan kesetiaannya kepada Soeharto dan juga menunjukkan bahwa ia tidak memiliki ambisi. Pada Munas Golkar III (1983), dengan dukungan Soeharto, Sudharmono terpilih sebagai Ketua Golkar. Di Golkar Soedharmono berhasil mendongkrak jumlah dukungan pada Soeharto.
Pada Sidang Umum MPR Maret 1988, kontroversi mewarnai nominasi Sudharmono sebagai Wakil Presiden. Ketua Partai Persatuan Pembangunan, Jaelani Naro tak mau kalah, ia mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden.
Brigadir Jenderal Ibrahim Saleh juga tak mau kalah. Ia menginterupsi sidang. Ibrahim tidak setuju calon wakil presiden yang sudah diproses. Naro baru mundur pada detik-detik akhir pemilihan, setelah dilobi oleh Awaloedin Djamin.
Sarwo Edhie Wibowo, jenderal yang telah membantu Soeharto mendapatkan kekuasaan di pertengahan 60-an juga mengundurkan diri dari MPR dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai protes.
Soeharto akhirnya turun tangan. Ia mencontohkan keputusan MPR yang dibuat pada tahun 1973 bahwa salah satu kriteria untuk Wakil Presiden adalah ia harus mampu bekerja dengan Presiden.
Dengan pengunduran diri Naro, Sudharmono akhirnya terpilih sebagai Wakil Presiden.
Pada tahun 1997, Sudharmono merilis otobiografi, berjudul Pengalaman Dalam Masa Pengabdian.
Pada Mei 1998, pada malam jatuhnya Soeharto, Sudharmono, bersama dengan mantan wakil presiden Umar Wirahadikusumah dan Try Sutrisno mengunjungi Soeharto di kediamannya untuk membahas kemungkinan opsi lain.
Sudharmono juga terus mengelola 7 yayasan milik Soeharto.
Rabu malam, 25 Januari 2006, sekitar pukul 19.40 WIB, Sudharmono meninggal dunia setelah menjalani perawatan selama dua pekan di Rumah Sakit MMC, Jakarta. Ia meninggalkan seorang istri, Emma Norma, dan tiga orang anak.
Soedharmono dimakamkan di TMP Kalibata. Pemimpin upacaranya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
sumber: wikipedia