Elshinta.com - SH Mintardja penulis komik silat Nusantara yang sangat produktif. Hingga tutup usia, salah satu karyanya yang berjudul Api di bukit Menoreh belum juga tamat.
Lahir di Yogyakarta 26 Januari 1933 dengan nama Singgih Hadi Mintardja. Setelah tamat SMA, SH Mintardja bekerja di Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan sekitar tahun 1958. Terakhir ia bekerja di Bidang Kesenian Kanwil Dekdikbud DIY sampai pensiun pada 1989.
Kawan-kawan memanggilnya Pak Singgih. Pengetahuan SH Mintardja yang luas tentang sejarah ditambah mendalami kitab Babat Tanah Jawi --yang tulisannya masih menggunakan huruf Jawa-- melahirkan karya Nagasasra dan Sabuk Inten.
Cerita dengan latar kerajaan Demak ini melahirkan sosok Mahesa Jenar. Kisah sebanyak 28 jilid ini meledak di pasaran, banyak pembaca yang suka. Namun tak sedikit yang terkecoh, mengira Mahesa Jenar betul-betul ada dalam sejarah Demak. Persatuan sepak bola Semarang menggunakan Mahesa Jenar sebagai nama timnya.
Sebagai sandiwara radio, Nagasasra dan Sabuk Inten tak kalah heboh, sama sama meledak. Pendengar dibikin tegang menunggu aksi ajian andalan Mahesa Jenar, pukulan Sasra Birawa yang menggeledek.
“Padahal saya memperoleh nama itu begitu saja. Rasanya kalau diucapkan sangat indah dan kalau didengar kok enak,” kata Mintardja dalam buku Apa dan Siapa Orang Yogyakarta edisi 1995.
Belum surut meriah buku Nagasasra dan Sabuk Inten di pasaran, Mintardja sudah menulis kisah Pelangi di Langit Singasari --dimuat di harian Berita Nasional 1970-an—yang dilanjutkan dengan serial Hijaunya Lembah dan Hijaunya Lereng Pegunungan.
SH Mintardja seperti tak lelah menulis, pada 1967 ia menulis lagi cerita, judulnya Api di Bukit Menoreh. Kisah berdirinya kerajaan Mataram ini melahirkan banyak tokoh di dalamnya, ada Agung Sedayu, Swandaru, Kiai Gringsing hingga Glagah Putih dan Rara Wulan.
Salah seorang penggemar SH Mintardja menyebut, Api di Bukit Menoreh jika dijajarkan bisa melebihi jarak Anyer – Panarukan. Api di Bukit Menoreh yang juga dibikin film itu ditulis hingga 400 jilid lebih.
Cerita silat lainnya yang diangkat ke layar lebar adalah Tanah Warisan. Di film, judulnya diganti menjadi Sisa-sisa Laskar Pajang pada 1972.
Selain menulis cerita silat, Mintardja juga menulis cerita ketoprak antara lain, Prahara, Ampak-ampak Kaligawe dan Kembang Kecubung.
Ia juga menulis cerita dengan warna yang lebih pop yang digali dari kehidupan sehari-hari dan tidak keraton sentris di antaranya, Bunga di Atas Batu Karang, Mas Demang dan Mendung di Atas Cakrawala.
SH Mintardja berpulang 18 Januari 1999 tepat 22 tahun yang lalu. Ia meninggal di RS Bethesda Yogyakarta setelah dirawat sebulan karena sakit ginjal dan jantung.
Pemakamannya dihadiri banyak pejabat daerah dan seniman di antaranya, Butet Kertarejasa dan Yati Pesek.
Menurut putranya yang tertua, Andang Suprihadi, Mintardja sudah lama mengidap sakit jantung coroner, sejak 1989 namun tetap berkarya. “Bapak memang penuh semangat kalau sudah menulis. Kalau sudah khusyuk menulis tidak ada yang berani mengganggunya,” kata Andang seperti dilaporkan harian Kompas.
Andang menambahkan, kisah Api di Bukit Menoreh, sejak pertama kali dimuat di surat kabar pada 1968 belum juga selesai hingga Mintardja tutup usia.
“Sudah sampai Api di Bukit Menoreh IV/59. Jadi artinya sudah 459 jilid buku. Ceritanya masih terus jalan,” katanya.
Atas karya-karyanya dalam dunia menulis SH Mintardja dianugerahi penghargaan, di antaranya Sang Hyang Kamahayanikan Award dari panitia Borobudur Writers and Cultural Festival tahun 2012 waktu itu mengusung tema “Memori dan Imajinasi Nusantara: Musyawarah Agung Penulis Cerita Silat dan Sejarah Nusantara”.
(berbagai sumber: kompas, tirto id, xat289.wordpress)