Elshinta.com - Tri Tuntutan Rakyat atau Tritura adalah tiga tuntutan kepada pemerintah. Tuntutan yang diserukan para mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).
Tiga tuntutan itu berisi, bubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta ormas-ormasnya, rombak Kabinet Dwikora, dan turunkan harga.
Kesatuan-kesatuan aksi yang lainnya, Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), dan Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI), ikut menyusul.
Pada 12 Januari 1966 ribuan mahasiswa turun ke jalan, memprotes keadaan negara yang makin memprihatinkan. Dari peristiwa (G30S) 1965 yang menyisakan konflik yang tak kunjung mereda, hingga kondisi ekonomi yang kacau.
Peristiwa G30S 1965 menempatkan Soekarno pada posisi dilematis, pada peristiwa berdarah itu PKI sebagai salah satu tertuduh utama. Namun, hingga pergantian tahun tak ada tindakan pemerintah yang kondusif.
Sektor ekonomi dan politik yang paling memberi pengaruh. Muhammad Umar Syadat Hasibuan dalam Revolusi Politik Kaum Muda (2008) menyebut keadaan sosial-ekonomi negara sedang terguncang akibat konfrontasi dengan Malaysia dan persoalan Irian Barat. Harga makanan membumbung tinggi.
Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI yang terjun langsung pada aksi itu menggambarkan kusutnya kondisi saat itu. Dalam esainya di buku berjudul Zaman Peralihan (2005) ia menulis:
“Terjadi kepanikan yang hebat dalam masyarakat, terlebih kalau diingat pada waktu itu menjelang Lebaran, Natal, dan Tahun Baru Tionghoa. Harga membumbung beratus-ratus persen dalam waktu hanya seminggu. Para pemilik uang melemparkan uangnya sekaligus ke pasar, memborong barang-barang”.
Tak hanya harga barang-barang yang mengalami kenaikan, tarif angkutan umum yang banyak menjadi transportasi para mahasiswa juga naik, 500 sampai 1000 persen. Namun yang paling memukul rakyat adalah kenaikan harga beras. Bahan makanan pokok itu naik dari 300 sampai 500 persen.
Aksi para mahasiswa pada 12 Januari 1966 itu bukan disambut baik-baik, sebaliknya mereka harus berhadapan dengan panser dari senapan pemerintah. Namun, massa mahasiswa tetap bertahan meski pedih mata karena semburan gas air mata. Mereka terus menunggu jawaban dari pemerintah. Para mahasiswa perlu menemui Wakil Perdana Menteri (Waperdam) III, Chairul Saleh, yang saat itu tidak berada di tempat.
Cosmas Batubara, salah seorang pengunjuk rasa yang juga anggota Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), masih terkenang peritiwa itu. Dalam otobiografi yang berjudul Cosmas Batubara, Sebuah Otobiografi Politik (2007) ia mengukapkan,
“Karena Waperdam III belum kembali, mahasiswa pun menunggu sambil duduk di jalan raya dan di halaman Sekretariat Negara. Sembahyang pun termasuk dilakukan di jalan raya itu sehingga lalu lintas macet total,” tutur Cosmas.
Waperdam III akhirnya datang dan menerima para aktivis KAMI. Di depan Chairul Saleh, Cosmas --yang kemudian menjadi menteri Orde Baru-- membacakan Tritura sebelum disampaikan secara tertulis.
Mendengar tuntutan tersebut, Waperdam III berjanji akan menyampaikannya kepada Presiden Soekarno.
Para mahasiswa ingin Soekarno melaksanakan tiga tuntutan tersebut hari itu juga. Namun, presiden perlu waktu sebelum membuat keputusan.
Para pengunjuk rasa akhirnya bubar, namun sesudah itu aksi tetap berlangsung hingga Tritura benar-benar dilaksanakan. (sumber: wikipedia, tirto.id)