Elshinta.com - Pada tanggal 24 Februari 1966, tepat hari ini 55 tahun lalu. Berbagai kelompok mahasiswa memblokir jalanan pada pagi hari, mereka menyetop berbagai kendaraan di wilayah-wilayah strategis ibukota, mengempesi ban-ban, hingga membuat lalu-lintas lumpuh total.
Tujuan mereka adalah menggagalkan acara pelantikan anggota Kabinet Dwikora II yang diumumkan Presiden Soekarno tiga hari sebelumnya. Lewat aksi tersebut, para mahasiswa berharap menteri-menteri tak bisa datang.
Namun, upaya mereka gagal. Pelantikan kabinet baru tetap berhasil dilakukan. Sebabnya, “banyak dari menteri-menteri itu diangkut menggunakan helikopter, beberapa di antaranya bahkan datang berjalan kaki atau naik sepeda,” tulis John Maxwell dalam Soe Hok-Gie: A Biography of A Young Indonesian Intellectual (1997: 174).
Lewat tengah hari, sewaktu kerumunan mahasiswa semakin banyak dan Istana Negara tinggal beberapa ratus meter saja dari jangkauan mereka, terdengar suara peluru yang ditembakkan dari bedil pasukan Tjakrabirawa.
Panik pun pecah. Beberapa demonstran mengalami luka-luka yang cukup serius. Dua orang demonstran meninggal. Pertama, Arif Rahman Hakim, mahasiswa tingkat empat Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Kedua, Zubaedah, seorang siswi SMA.
Esoknya, sebelum dikebumikan, jenazah Arif Rahman Hakim diarak secara besar-besaran dari Universitas Indonesia sampai Kebayoran. Salvo ditembakkan di atas pusara. Soeharto dan A. H. Nasution mengirimkan karangan bunga. Seperti dicatat Maxwell, hari itu “gerakan mahasiswa [Indonesia] baru saja melahirkan martir pertamanya”. (Sumber: https://bit.ly/3bvdgaR)