Elshinta.com - Kisah pemberontakan pelaut Indonesia di atas kapal perang Belanda Hr Ms De Zeven Provincien atau yang dikenal dengan kapal Tujuh masih melegenda dalam catatan sejarah.
Peristiwa yang terjadi pada 3 Februari 1933, menjadi bukti bahwa pelaut pribumi masa kolonial memiliki keberanian luar biasa dalam memperjuangkan harkat dan martabat.
Walau pemberontakan hanya berlangsung tujuh hari, tetapi dampaknya sangatlah besar. Implikasinya di dalam negeri, kebanggaan nasional makin menjalar. Di luar negeri, Belanda sangat merasa malu, apalagi Jerman dan Jepang dapat mengukur kelemahan Angkatan Laut Kerajaan Belanda, karena peristiwa itu terjadi di ambang Perang Dunia II.
Seperti dihimpun sindonews.com, pemicu pemberontakan ini adalah keputusan penurunan gaji pegawai pemerintah Hindia Belanda sebesar 17 persen yang diumumkan pada 1 Januari 1933. Penurunan gaji pegawai tersebut merupakan upaya pemerintah Hindia Belanda untuk mengurangi defisit anggaran belanja akibat depresi ekonomi yang melanda dunia saat itu.
Terjadi aksi mogok besar yang dilakukan anggota Korps Marinir pribumi Angkatan Laut Belanda pada 3 Februari 1933 di Surabaya. Kabar itu pun didengar oleh Maud Boshart, pelaut Belanda yang bertugas di atas Kapal Tujuh ketika patroli di sebelah barat Aceh, pada 30 Januari 1933.
Merespons gerakan pemogokan itu, para pelaut di Kapal Tujuh melakukan rapat, di antara Rumambi, Paraja, Hendrik, dan Gosal. Para pelaut Kapal Tujuh yang sedang berada di perairan Sumatera menyatakan simpati dan dukungannya terhadap rekan-rekannya yang melakukan aksi di Surabaya